Rabu, 07 November 2012

ANALISIS MARGIN PEMASARAN GABAH/BERAS


I.     PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Pemasaran memiliki fungsi yang sangat penting dalam menghubungkan produsen dengan konsumen dan memberikan nilai tambah yang besar dalam perekonomian. Panglaykim dan Hazil (1960) menyatakan bahwa terdapat sembilan macam fungsi pemasaran yaitu: perencanaan, pembelian, penjualan, transportasi, penyimpanan, standarisasi dan pengelompokan, pembiayaan, komunikasi, dan pengurangan resiko (risk bearing). Sebagai perusahaan, tataniaga sama pentingnya dengan kegiatan produksi karena tampa bantuan sistem tataniaga, petani akan merugi akibat barang-barang hasil produksinya tidak dapat dijual. Sistem distribusi pangan dari produsen ke konsumen dapat terdiri dari beberapa rantai tataniaga(marketing channels) dimana masing-masing pelaku pasar memberikan jasa yang berbeda. Besar keuntungan setiap pelaku tergantung pada struktur pasar di setiap tingkatan, posisi tawar, dan efisiensi usaha masing-masing pelaku.
Dalam upaya peningkatan efisiensi usaha, diperlukan studi mengenai sistem pemasaran dan permasalahan yang  dihadapi oleh setiap pelaku pemasaran. Secara rinci, bertujuan untuk:
*      Menggambarkan keragaan alur pemasaran gabah/beras mulai dari petani (produsen) sampai konsumen akhir
*      Menganalisis komponen biaya dan margin pemasaran pada setiap pelaku pemasaran, dan
*      Mengidentifikasi karakteristik dan permasalahan pada setiap pelaku pemasaran. Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan kebijakan dalam perbaikan sistem pemasaran gabah/beras nasional terutama di Propinsi Sumatra Utara.

B.  Analisis Margin Pemasaran

Margin pemasaran atau margin tataniaga menunjukkan selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran. Margin tataniaga adalah perubahan antara harga petanidan harga eceran (retail). Margin tataniaga hanya merepresentasikan perbedaanharga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani, tetapi tidak menunjukkan jumlah quantitas produk yang dipasarkan. Margin tataniaga  merupakan penjumlahan antara biaya tataniaga dan margin keuntungan. Nilai margin pemasaran adalah perbedaan harga di kedua tingkat sistim pemasaran dikalikan dengan quantitas produk yang dipasarkan. Cara perhitungan ini sama dengan konsep nilai tambah (value added). Pengertian ekonomi nilai marginpemasaran adalah harga dari sekumpulan jasa pemasaran /tataniaga yang merupakan hasil dari interaksi antara permintaan dan penawaran  produk–produk tersebut. Oleh karena itu nilai margin pemasaran dibedakan menjadi dua yaitu marketing costs dan marketing charges. Biaya pemasaran terkait dengan tingkat pengembalian dari faktor produksi, sementara marketing charges berkaitan denga berapa yang diterima oleh pengolah, pengumpul dan lembaga tataniaga. Margin tataniaga terdiri dari tiga jenis yaitu absolut, persentase dan kombinasi. Margin pemasaran absolut dan persentase dapat menurun, konstan dan meningkat denganbertambahnya quantitas yang dipasarkan. Hubungan antara elastisitas permintaandi tingkat rantai tataniaga yang berbeda memberikan beberapa kegunaan analisis.Hubungan bergantung  pada perilaku dari margin pemasaran. (Agribisnis, 2011) Analisis  selisih penjualan (sales variance analysis) mengukur kontribusi relatif faktor-faktor yang berbeda terhadap kesenjangan kinerja penjualan.

C.  Fungsi-Fungsi Pemasaran
Menurut Limbong dan Sitorus (1987) dalam Fitriadi (2004) fungsi pemasaran merupakan kegiatan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa dari titik produsen ke titik konsumen. Fungsi-fungsi pemasaran komoditas pertanian yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemasaran pada prinsipnya terdapat tiga fungsi pemasaran, yaitu fungsi pertukaran, fungsi pengadaan fisik, dan fungsi fasilitas atau pelancar (Dahl and Hammond, 1977).
*      Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi pembelian, penjualan, dan fungsi pengumpulan.
*       Fungsi fisik terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan fungsi mpengolahan.
*      Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standardisasi, fungsi keuangan,fungsipenanggungan resiko dan fungsi intelijen pemasaran (informasi pasar).
D.      HASIL DAN PEMBAHASAN


A.  Mata Rantai Pemasaran Gabah/Beras

Di Propinsi Sumatra Utara, struktur aliran tataniaga gabah/beras pada garis besarnya ditemukan dua aliran, yaitu: (I) saluran pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul sebagai kaki tangan pedagang kongsi. Dari pedagang pengumpul, gabah ditampung, dikelompokan menurut jenis varietas dan disalurkan oleh pedagang kongsi ke pedagang kilang. Dari pedagang kilang, gabah mulai mengalami perlakuan meliputi proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Beras yang telah dikemas dan diberi label selanjutnya disalurkan ke pedagang grosir. Dari grosir disalurkan ke pengecer-pengecer untuk dijual ke konsumen; dan (II) saluran pemasaran kedua, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul yang merupakan kaki tangan pemilik penggilingan desa. Di penggilingan desa, gabah mengalami proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Selanjutnya beras dikemas dengan tampa diberi label dan disalurkan ke pengecer desa untuk dijual ke konsumen. Mayoritas petani (85%) menempuh saluran pemasaran pertama dan sisanya (15%) menempuh saluran pemasaran kedua.
 
A.  Komponen Biaya dan Margin Pemasaran

Kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan pada umumnya merupakan tiga fungsi utama dari tataniaga disamping fungsi pembiayaan. Tabel 1 menunjukan bahwa pada rantai pemasaran pertama (I), jenis pembiayaan utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir, dan pedagang pengecer hampir sama meliputi biaya transportasi dan bongkar muat. Besar pembiayaan masing-masing adalah pedagang pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir (Rp.17,-), dan pedagang pengecer (Rp.22,-) per kilogram beras. Jumlah biaya pemasaran paling tinggi terjadi pada pedagang kilang, yaitu Rp.127,- per kilogram beras. Besarnya pembiayaan tersebut dikarenakan di pedagang kilang gabah mulai mendapatkan perlakuan penting meliputi proses pengeringan, penggilingan, pengemasan disamping biaya transportasi dan bongkar muat. Margin pemasaran (marketing margin) paling tinggi berturut-turut terjadi pada pedagang kilang (7,6%), pedagang pengumpul/kongsi (6,7%), pedagang pengecer (1,8%), dan grosir (1,2%). Meskipun margin keuntungan kilang hanya mencapai Rp.89,-/kg, tetapi jumlah volume penjualanya paling besar yaitu sekitar 1.500-2.000 ton beras permusim.
Tabel 1. Analisis Margin Pemasaran Gabah/Beras pada Rantai Pemasaran pertama.

Uraian
Satuan (rp/kg)
Persentase (%)
1. Petani/Produsen

    a.Harga beli
-
-
    b.Margin pemasaran
-
-
    c.Harga jual GKP 1)
2.360
82,8 4)
2. Pedagang pengumpul/kongsi

    a.Harga beli
2.360
82,8
    b.Margin pemasaran:
190
6,7
       - Biaya pemasaran 2)
42
-
       -Margin keuntungan
148
-
    c.Harga jual
2.550
89,5
3. Pedagang/Kilang Besar

    a.Harga beli
2,550
89,5
    b.Margin pemasaran:
216
7,6
      -Biaya pemasaran 3)
127
-
      -Margin keuntungan
89
-
    c.Harga jual
2.766
97,1
4. Pedagang Grosir

    a.Harga beli
2.766
97,1
    b.Margin pemasaran
34
1,2
      -Biaya pemasaran 2)
17
-
      -Margin keuntungan
17
-
    c.Harga jual
2.800
98,3
5. Pengecer

    a.Harga beli
2.800
98,3
    b.Margin pemasaran
50
1,8
      -Biaya pemasaran 2)
22
-
      -Margin keuntungan
28
-
    c.Harga jual
            2.850
            100,0
Keterangan:
1.      Dikonversi ke harga beras (53%)
2.      Transportasi, bongkar muat, dll.
3.       Pengeringan, penggilingan, pengemasan, transportasi, bongkar muat, dll.
4.      Harga jual di tingkat pelaku/ harga jual di tingkat pengecer x 100%

Pada pedagang kilang, diduga sering terjadi pengeplosan beras lokal dengan beras impor yang harganya 16,7% lebih murah dibandingkan beras local (Rp.2.800,- /kg) dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing pemasaran melalui penurunan harga. Tidakan ini perlu diteliti dan apabila benar perlu diperbaiki untuk melindungi keberadaan penggilingan padi local (village rice milles). Pada rantai pemasaran kedua  harga jual gabah petani lebih tinggi 5,9% dibandingkan dengan rantai pemasaran pertama karena gabah dibeli dari para petani disekitar pabrik penggilingan (village rice milles) sehingga tidak perlu mengeluarkan
biaya transportasi tinggi dan kualitas gabah umumnya lebih baik. Seperti pada rantai pemasaran pertama, jenis pembiayaan yang dikeluarkan setiap pelaku pasar hampir sama. Pada rantai pemasaran ini, margin pemasaran terbesar terjadi pada penggilingan desa sebanyak 7,4 persen sementara pengumpul dan pengecer masing-masing 2,5 dan 1,8 persen (Table 2).
Di tingkat pengecer, harga beras penggilingan hanya Rp.2.830,-/kg atau 0,7 persen lebih rendah dibandingkan harga beras kilang. Perbedaan dikarenakan mutu beras penggilingan umumnya lebih rendah dibandingkan produk kilang, terutama dari aspek warna kurang putih serta tingginya persentase kandungan bekatul dan beras pecah. Kualitas beras kilang lebih baik dikarenakan pedagang kilang memiliki fasilitas pengolahan gabah/beras lebih baik dibandingkan penggilingan desa. Pada tingkat pasar kabupaten, produk mereka kalah bersaing dengan beras kilang sehingga penggilingan desa hanya menyalurkan beras ke pengecer local dan pihak-pihak yang telah mengadakan kontrak pengadaan beras (karyawan). Tabel 2 menginformasikan, bahwa penggilingan desa memperoleh margin keuntungan paling tinggi yaitu sebanyak Rp.85,-/kg sedangkan pedagang pengumpul dan pengecer masing-masing hanya mencapai Rp.48,- dan Rp.28,-/kg.
Table 2. Analisis Margin Pemasaran Gabah/Beras pada Rantai Pemasaran kedua.
Jenis Kegiatan Satuan (rp/kg) Persentase (%)

Jenis Kegiatan
Satuan (rp/kg)
Persentase (%)
1. Petani/Produsen

    a.Harga beli
-
-
    b.Margin pemasaran
-
-
    c.Harga jual GKP 1)
2.500
88,3 4)
2. Pedagang pengumpul

    a.Harga beli
2.500
88.3
    b.Margin pemasaran:
70
2,5
       -Biaya pemasaran 2)
22
-
       -Margin keuntungan
48
-
   c.Harga jual
2.570
90,8
3. Penggilingan Desa

    a.Harga beli
2.570
90,.8
    b.Margin pemasaran
210
7,4
       -Biaya pemasaran 3)
125
-
       -Margin keuntungan
85
-
   c.Harga jual
2.780
98,2
4. Pengecer

    a.Harga beli
2.780
98,2
    b.Margin pemasaran
50
1,8
       -Biaya pemasaran 2)
22
-
       -Margin keuntungan
28
-
    c.Harga jual
2.830
100,0

Keterangan:
1.       Dikonversi ke harga beras (53%)
2.       Transportasi, bongkar muat, dll.
3.       Pengeringan, penggilingan, pengemasan, transportasi, bongkar muat, dll.
4.       Harga jual di tingkat pelaku/ harga jual di tingkat pengecer x 100%


B.  Karakteristik dan Permasalahan Pelaku Pasar
Dari kedua rantai pemasaran, pelaku pasar terdiri dari petani sebagai produsen gabah, pedagang, penggilingan kilang dan penggilingan desa, grosir, dan pengecer. Setiap pelaku pasar tersebut mempunyai karakteristik sendiri yang turut menyokong keberhasilan usahanya atau memecahkan permasalahan yang dihadapi. Mengenai karakteristik pelaku pasar dan pemasalahan yang dihadapi dapat diuraikan sebagai berikut:
1.    Petani Produsen Gabah

Dilihat dari luas penguasaan lahan, rata-rata penguasaan lahan usahatani petani tergolong sempit, yaitu sekitar 0,25-0,50 ha/petani (Tabel 3). Keadaan ini sesuai dengan pendapatan Suryana dan Sudi (2001) yang menyatakan, bahwa setidaknya ada empat ciri utama petani padi Indonesia yaitu;
*      Rata-rata skala penguasaan lahan usahatani tergolong sempit sekitar 0,3 ha/petani.
*      sekitar 70 persen petani (khususnya buruh tani dan petani berskala kecil) termasuk golongan masyarakat miskin atau berpendapatan rendah.
*      Sekitar 60 persen petani adalah net consumer beras, dan
*      Rata-rata pendapatan usahatani memberikan kontribusi sekitar 30 persen dari total pendapatan rumah tangga.
Umumnya petani sudah menanam varietas padi unggul baru seperti Way Apu Buru, IR-64, Ciherang, dan Aries namun demikian beberapa petani masih menanam varietas local “ramos” dengan alasan mempunyai rasa nasi enak dan harga jual tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sampai musim panen berikutnya, rata-rata petani menyimpan gabah hasil panen sekitar 5,0-10,0 ku/musim dan sisanya dijual.
Tabel 2 menginformasikan, bahwa 95 persen petani menjual langsung gabah setelah panen dalam bentuk gabah kering panen (GKP), dan sisinya (5%) dijual setelah penyimpanan dalam bentuk gabah kering simpan (GKS). Cara penjualan gabah langsung setelah panen sulit dihindari karena disamping petani mempunyai kebutuhan yang mendesak, juga mereka umumnya tidak mempunyai sarana pengeringan dan penyimanan yang memadai. Hali ini akan menyebabkan harga gabah petani anjlok turun karena suplai gabah waktu panen meningkat sehingga posisi tawar petani sangat lemah.

Permasalah petani adalah keterbatasan modal usaha sehingga mereka terjebak utang pada pelepas uang (lender). Sesuai dengan pendapat Mears (1978) yang menyataklan bahwa, petani padi di Indonesia sangat membutuhkan kredit untuk tujuan produksi, belanja hidup sehari-hari sebelum produk di jual dan pertemuan - pertemuan sosial. Kepemilikan lahan usaha yang sempit, lapangan pekerjaan yang terbatas di luar musim tanam, dan pemborosan menyebabkan banyak petani tidak dapat mengelola hidup dari satu panen ke panen lainnya tampa sumber pinjaman.
Menunjukan bahwa hanya sekitar 25-30 persen petani mengeluarkan biaya sendiri untuk kebutuhan pembiayaan usahatani sedangkan sebagian besar (75 - 70%) petani melakukan pinjaman baik dari kredit formal maupun Non-formal. Sekitar dua puluh lima persen petani melakukan pinjaman kredit formal yaitu program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dan sekitar 45-50 persen jasa kredit Non-formal, terutama berasal dari pedagang pengumpul dan penggilingan desa. Pinjaman kredit Nonformal menimbulkan permasalahan petani karena meskipun tingkat bunga pinjaman hampir sama dengan bunga bank (1-2%/bulan), tetapi dengan melakukan peminjaman ada tersirat keharusan bagi petani untuk menjual gabah ke pelepas uang. Petani kurang bebas memilih pembeli yang lebih menguntungkan dan  ditemukan kasus dimana dengan berbagai alasan pelepas uang menekan harga jual gabah petani sekitar Rp.50,- sampai Rp.100,-/kg GPK lebih rendah dari harga yang berlaku
2.    Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul merupakan kaki tangan pedagang kongsi dan menjalankan fungsi untuk membeli gabah langsung dari sawah petani. Tabel 3 menginformasikan, bahwa pedagang pengumpul merupakan grup terdiri dari 10 sampai 20 orang dengan wilayah pembelian beberapa desa yang berdekatan. Bentuk gabah yang dibeli mayoritas merupakan Gabah Kering Panen (GKP) tetapi di luar masa panen mereka juga membeli gabah stok dalam bentuk Gabah Kering Simpan (GKS).
Dalam melaksanakan pembelian, pedagang pengumpul membawa karung dan timbangan selain itu beberapa pedagang membawa mesin perontok (power thresher) untuk disewakan. Kegiatan utama pedagang pengumpul melakukan penaksiran harga gabah, pengarungan, penimbangan, dan pembayaran. Dalam satu musim, mereka mampu membeli gabah 200-300 ton dimana gabah hasil pembelian langsung dikirim ke di pedagang kongsi pada hari yang sama.
Tabel 3. Karakteristik Pedagang Pengumpul
Uraian
Keterangan
1. Tempat domisili pedagang
Desa
2. Jumlah anggota
10 - 20 orang/group
3. Jumlah pedagang pengumpul
2 - 3 group/desa
4. Sumber modal utama
Pedagang kongsi
5. Wilayah pembelian dominan
Desa-desa dalam kecamatan
6. Bentuk pembelian dominan
Gabah Kering Panen (GKP)
7. Kisaran harga pembelian
Rp.1.150,- sampai Rp.1.300,-/kg GKP
8. Volume pembelian
200 - 300 ton/musim
9. Jenis-jenis kegiatan utama
Penaksiran harga, pengarungan, penimbangan,
dan pembayaran
10. Cara pembagian keuntungan
Dibagi dua dengan kongsi

3.    Pedagang Kongsi
Dalam rantai tataniaga, pedagang kongsi merupakan pihak yang menjual gabah ke pedagang kilang. Satu pedagang kongsi mempunyai 3-4 group pedagang pengumpul dengan jangkauan wilayah pembelian meliputi beberapa kecamatan yang berdekatan. Dalam satu musim, pedagang kongsi dapat pembelian gabah 600-800 ton. Di pedagang kongsi, gabah dikelompokan berdasarkan bentuk butiran dan varietas. Dengan tampa perlakuan yang berarti, selanjutnya gabah dikirim langsung ke pedagang kilang pada hari yang sama (paling lambat tersimpan satu hari) untuk menghindari penurunan mutu. Untuk membuat atau membina ikatan pembelian dengan petani, pedagang kongsi memberikan pinjaman modal usahatani (production credits) atau kebutuhan lain dengan suku bunga rendah (1-2%/bulan), dimana pelaksanaan di lapangan dikerjakan oleh para pedagang pengumpul.
4.    Pedagang Kilang

Pedagang kilang umumnya berada di Ibukota Kabupaten dan mempunyai wilayah pembelian beberapa kecamatan. Perusahaan kilang besar di Sumatra Utara pada umumnya didominasi oleh warga negara Indonesia keturunan (Cina). Dalam proses pembelian gabah, pedagang kilang mengklasifikasi mutu gabah ke dalam 4 (empat) golongan untuk menentukan tingkat harga. Mutu gabah diperiksa hanya berdasarkan hasil penglihatan dan pegangan tangan terutama mengenai kelompok gabah, kadar air, kdanungan kotoran, dan gabah hampa.
Tabel 4. Karakteristik Pedagang Kilang
Uraian
Keterangan
1. Tempat domisili pedagang
Ibu kota Kabupaten
2. Sumber modal utama
Sendiri dan pinjaman Bank
3. Wilayah pembelian
Beberapa Kecamatan
4. Bentuk pembelian dominan
Gabah Kering Panen (GKP)
5. Volume pembelian per musim
2.000-3.000 ton                
6. Kisaran harga pembelian gabah :

      Klas I             
Rp.1.400,-/kg GKP
      Klas II
Rp.1.350,-/kg GKP
      Klas III
Rp.1.300,-/kg GKP
      Klas IV
Rp1.250,-/kg GKP
7. Bentuk penjualan
Beras dalam kemasan berlabel
8. Wilayah penjualan dominan
Beberapa Kabupaten
9. Jenis penanganan hasil
Pengeringan, penggilingan, grading,
pengemasan, dan labelling

Pedagang kilang mempunyai fasilitas pengolahan jauh lebih baik dibdaningkan
penggilingan desa, terutama fasilitas pengeringan dan penggilingan. Alat pengeringan sudah menggunakan mesin yang memberikan beberapa keuntungan yaitu;
*      proses pengeringan sangat cepat dengan kapasitas 15 ton gabh dalam waktu 9 jam,
*      proses pengeringan tidak tergantung kepada keadaan cuaca, dan
*      pengeringan menghasilkan gabah dengan kadar air 13,5 persen yang akanmenghasilkan kualitas beras lebih baik (angka rendemen meningkat dan persentaseberas pecah berkurang). Setiap pedagang kilang melakukan klasifikasi mutu berasmasing-masing, pengemasan (30kg/kemasan), dan pembuatan merk dagang (labelling).



5.    Grosir dan Pengecer
Pedagang grosir banyak yang berstatus rangkap yaitu selain pedagang grosir juga pengecer. Grosir berlokasi di ibu kota Kabupaten atau Kecamatan yang berfungsi untuk mensuplai beras ke pedagang-pedagang pengecer baik di pasarpasar, warung maupun toko. Pedagang grosir dapat secara bebas memilih ke kilang mana saja mereka memesan beras sesuai dengan permintaan konsumen sehingga mereka bisa menawarkan banyak jenis merk beras ke konsumen. Pengecer dapat menjual beras baik dalam bentuk kemasan pabrik maupun secara eceran sesuai permintaan konsumen akhir. Di tingkat grosir dan pengecer pada umumnya tidak ditemukan permasalahan yang berarti.

6.    Penggilingan Padi Desa
Tujuan utama penggilingan adalah menyediakan jasa penggilingan untuk petani lokal. Rata-rata volume gabah yang digiling mencapai 50 ton/musim dengan upah giling 8 persen dari beras yang dihasilkan. Untuk membuat ikatan dengan petani, baik sebagai pelanggan jasa penggilingan maupun penjualan gabah, pemilik penggilingan juga memberikan pinjaman modal usahatani (production credits) dan lainya dengan bunga 1-2%/bulan. Selain itu, pemilik penggilingan mengizinkan petani untuk mempergunakan pasilitas penjemuran atau penyimpanan gabah dengan tampa harus menyewa. Permasalahan yang dihadapi oleh penggilingan desa adalah disamping kelemahan dalam permodalan, juga fasilitas pengolahan gabah/beras yang dimiliki umumnya jauh lebih rendah dibdaningkan fasilitas yang dimiliki pedagang kilang, terutama fasilitas pengeringan dan penggilingan.
Dalam pengeringan, mereka hanya mengandalkan keberadaan sinar matahari sehingga proses pengeringan membutuhkan waktu cukup lama dan sangat tergantung kepada cuaca. Karena keterbatasan tersebut, penggilingan desa menghasilkan mutu produk yang kurang baik, terutama persentase beras pecah dan kandungan kotoran/komponen lain sehingga kurang disenangi oleh konsumen.
Konsumen indonesia menyukai beras lebih putih, mengkilap, 13 butiran utuh, sedikit kuning dan banyak kandungan amilose. Karakteristik produk tersebut selain kandungan amilose, ditentukan juga oleh proses pascapanen dan proses-proses lainya yang lebih baik. Selain itu, konsumen beras menyukai produk-produk kemasan berlabel seperti produk yang dihasilkan oleh pedagang kilang.
A.      KESIMPULAN

Kesimpulan :
1.    Struktur aliran tataniaga gabah/beras pada garis besarnya ditemukan dua aliran, yaitu: (I) saluran pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul sebagai kaki tangan pedagang kongsi. Dari pedagang pengumpul, gabah disalurkan oleh pedagang kongsi ke pedagang kilang. Dari pedagang kilang, gabah mulai mengalami perlakuan meliputi proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Beras yang telah dikemas disalurkan ke pedagang grosir, dari grosir disalurkan ke pengecer-pengecer untuk dijual ke konsumen; dan (II) saluran pemasaran kedua, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul yang merupakan kaki tangan pemilik penggilingan desa. Di penggilingan desa, gabah mengalami proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Selanjutnya beras dikemas dan disalurkan ke pengecer desa untuk dijual ke konsumen. Mayoritas petani (85%) menempuh saluran pemasaran pertama dan sisanya (15%) menempuh saluran pemasaran kedua.
2.    Jenis pengeluaran utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir dan pedagang pengecer hampir sama meliputi biaya transportasi dan bongkar muat. Pada saluran pemasaran I besar biaya pemasaran pedagang pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir (Rp.17,-), dan pedagang pengecer (Rp.22,-) per kilogram beras. Jumlah biaya pemasaran paling tinggi terjadi pada pedagang kilang, yaitu Rp.127,-per kilogram beras. Margin pemasaran (marketing margin) paling tinggi berturut-turutterjadi pada pedagang kilang sebanyak 7,6%, pedagang pengumpul/kongsi 6,7%, sedangkan pedagang grosir dan pengecer masing-masing 1,2 dan 1,8%. Margin keuntungan (net benefit margin) di kilang mencapai Rp.89,-/kg. Pada saluranpemasaran II, margin pemasaran terbesar terjadi pada penggilingan desa sebanyak 7,4 persen sementara pedagang pengumpul dan pengecer masing-masing 2,5 dan 1,8 persen.