I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemasaran
memiliki fungsi yang sangat penting dalam menghubungkan produsen dengan
konsumen dan memberikan nilai tambah yang besar dalam perekonomian. Panglaykim
dan Hazil (1960) menyatakan bahwa terdapat sembilan macam fungsi pemasaran
yaitu: perencanaan, pembelian, penjualan, transportasi, penyimpanan,
standarisasi dan pengelompokan, pembiayaan, komunikasi, dan pengurangan resiko (risk
bearing). Sebagai perusahaan, tataniaga sama pentingnya dengan kegiatan
produksi karena tampa bantuan sistem tataniaga, petani akan merugi akibat
barang-barang hasil produksinya tidak dapat dijual. Sistem distribusi pangan
dari produsen ke konsumen dapat terdiri dari beberapa rantai tataniaga(marketing
channels) dimana masing-masing pelaku pasar memberikan jasa yang berbeda.
Besar keuntungan setiap pelaku tergantung pada struktur pasar di setiap tingkatan,
posisi tawar, dan efisiensi usaha masing-masing pelaku.
Dalam
upaya peningkatan efisiensi usaha, diperlukan studi mengenai sistem pemasaran
dan permasalahan yang dihadapi oleh
setiap pelaku pemasaran. Secara rinci, bertujuan untuk:
Menggambarkan keragaan alur pemasaran gabah/beras
mulai dari petani (produsen) sampai konsumen akhir
Menganalisis komponen biaya dan margin
pemasaran pada setiap pelaku pemasaran, dan
Mengidentifikasi karakteristik dan
permasalahan pada setiap pelaku pemasaran. Hasil penelitian diharapkan menjadi
bahan kebijakan dalam perbaikan sistem pemasaran gabah/beras nasional terutama
di Propinsi Sumatra Utara.
B.
Analisis Margin
Pemasaran
Margin pemasaran atau margin tataniaga menunjukkan selisih harga dari dua
tingkat rantai pemasaran. Margin tataniaga adalah perubahan antara harga
petanidan harga eceran (retail). Margin tataniaga hanya merepresentasikan
perbedaanharga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani,
tetapi tidak menunjukkan jumlah quantitas produk yang dipasarkan.
Margin tataniaga merupakan penjumlahan
antara biaya tataniaga dan margin keuntungan. Nilai margin pemasaran adalah
perbedaan harga di kedua tingkat sistim pemasaran dikalikan dengan quantitas produk yang dipasarkan.
Cara perhitungan ini sama dengan konsep nilai tambah (value
added). Pengertian ekonomi nilai marginpemasaran adalah harga dari sekumpulan
jasa pemasaran /tataniaga yang merupakan
hasil dari interaksi antara permintaan dan penawaran produk–produk tersebut. Oleh karena itu nilai
margin pemasaran dibedakan menjadi dua yaitu marketing costs dan marketing charges. Biaya pemasaran terkait dengan
tingkat pengembalian dari faktor produksi, sementara marketing charges
berkaitan denga berapa yang diterima oleh pengolah, pengumpul dan lembaga
tataniaga. Margin tataniaga terdiri dari tiga jenis yaitu
absolut, persentase dan kombinasi. Margin pemasaran absolut dan persentase dapat menurun, konstan dan
meningkat denganbertambahnya quantitas yang dipasarkan. Hubungan antara
elastisitas permintaandi tingkat rantai tataniaga yang berbeda memberikan
beberapa kegunaan analisis.Hubungan bergantung pada perilaku dari margin pemasaran. (Agribisnis,
2011) Analisis selisih penjualan (sales
variance analysis) mengukur kontribusi relatif faktor-faktor yang berbeda terhadap kesenjangan kinerja penjualan.
C. Fungsi-Fungsi
Pemasaran
Menurut Limbong dan
Sitorus (1987) dalam Fitriadi (2004) fungsi pemasaran merupakan kegiatan yang
dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa dari titik produsen ke
titik konsumen. Fungsi-fungsi pemasaran komoditas pertanian yang dilaksanakan
oleh lembaga-lembaga pemasaran pada prinsipnya terdapat tiga fungsi pemasaran,
yaitu fungsi pertukaran, fungsi pengadaan fisik, dan fungsi fasilitas atau
pelancar (Dahl and Hammond, 1977).
Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi
pembelian, penjualan, dan fungsi pengumpulan.
Fungsi fisik terdiri dari fungsi penyimpanan,
pengangkutan dan fungsi mpengolahan.
Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi
standardisasi, fungsi keuangan,fungsipenanggungan resiko dan fungsi intelijen
pemasaran (informasi pasar).
D.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Mata Rantai
Pemasaran Gabah/Beras
Di
Propinsi Sumatra Utara, struktur aliran tataniaga gabah/beras pada garis
besarnya ditemukan dua aliran, yaitu: (I) saluran pemasaran pertama, petani
menjual gabah ke pedagang pengumpul sebagai kaki tangan pedagang kongsi. Dari pedagang
pengumpul, gabah ditampung, dikelompokan menurut jenis varietas dan disalurkan
oleh pedagang kongsi ke pedagang kilang. Dari pedagang kilang, gabah mulai
mengalami perlakuan meliputi proses pengeringan, penggilingan dan grading beras.
Beras yang telah dikemas dan diberi label selanjutnya disalurkan ke pedagang
grosir. Dari grosir disalurkan ke pengecer-pengecer untuk dijual ke konsumen;
dan (II) saluran pemasaran kedua, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul
yang merupakan kaki tangan pemilik penggilingan desa. Di penggilingan desa,
gabah mengalami proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Selanjutnya
beras dikemas dengan tampa diberi label dan disalurkan ke pengecer desa untuk
dijual ke konsumen. Mayoritas petani (85%) menempuh saluran pemasaran pertama
dan sisanya (15%) menempuh saluran pemasaran kedua.
A. Komponen Biaya
dan Margin Pemasaran
Kegiatan
pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan pada umumnya merupakan tiga fungsi
utama dari tataniaga disamping fungsi pembiayaan. Tabel 1 menunjukan bahwa pada
rantai pemasaran pertama (I), jenis pembiayaan utama dari pedagang
pengumpul/kongsi, grosir, dan pedagang pengecer hampir sama meliputi biaya
transportasi dan bongkar muat. Besar pembiayaan masing-masing adalah pedagang
pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir (Rp.17,-), dan pedagang pengecer (Rp.22,-)
per kilogram beras. Jumlah biaya pemasaran paling tinggi terjadi pada pedagang
kilang, yaitu Rp.127,- per kilogram beras. Besarnya pembiayaan tersebut
dikarenakan di pedagang kilang gabah mulai mendapatkan perlakuan penting
meliputi proses pengeringan, penggilingan, pengemasan disamping biaya
transportasi dan bongkar muat. Margin pemasaran (marketing margin)
paling tinggi berturut-turut terjadi pada pedagang kilang (7,6%), pedagang pengumpul/kongsi
(6,7%), pedagang pengecer (1,8%), dan grosir (1,2%). Meskipun margin keuntungan
kilang hanya mencapai Rp.89,-/kg, tetapi jumlah volume penjualanya paling besar
yaitu sekitar 1.500-2.000 ton beras permusim.
Tabel
1. Analisis Margin Pemasaran Gabah/Beras pada Rantai Pemasaran pertama.
Uraian
|
Satuan (rp/kg)
|
Persentase (%)
|
1.
Petani/Produsen
|
|
|
a.Harga beli
|
-
|
-
|
b.Margin pemasaran
|
-
|
-
|
c.Harga jual GKP 1)
|
2.360
|
82,8 4)
|
2.
Pedagang pengumpul/kongsi
|
|
|
a.Harga beli
|
2.360
|
82,8
|
b.Margin pemasaran:
|
190
|
6,7
|
- Biaya pemasaran 2)
|
42
|
-
|
-Margin keuntungan
|
148
|
-
|
c.Harga jual
|
2.550
|
89,5
|
3.
Pedagang/Kilang Besar
|
|
|
a.Harga beli
|
2,550
|
89,5
|
b.Margin pemasaran:
|
216
|
7,6
|
-Biaya pemasaran 3)
|
127
|
-
|
-Margin keuntungan
|
89
|
-
|
c.Harga jual
|
2.766
|
97,1
|
4.
Pedagang Grosir
|
|
|
a.Harga beli
|
2.766
|
97,1
|
b.Margin pemasaran
|
34
|
1,2
|
-Biaya pemasaran 2)
|
17
|
-
|
-Margin keuntungan
|
17
|
-
|
c.Harga jual
|
2.800
|
98,3
|
5.
Pengecer
|
|
|
a.Harga beli
|
2.800
|
98,3
|
b.Margin pemasaran
|
50
|
1,8
|
-Biaya pemasaran 2)
|
22
|
-
|
-Margin keuntungan
|
28
|
-
|
c.Harga jual
|
2.850
|
100,0
|
Keterangan:
1.
Dikonversi ke harga beras (53%)
2.
Transportasi, bongkar muat, dll.
3.
Pengeringan, penggilingan, pengemasan,
transportasi, bongkar muat, dll.
4.
Harga jual di tingkat pelaku/ harga jual
di tingkat pengecer x 100%
Pada
pedagang kilang, diduga sering terjadi pengeplosan beras lokal dengan beras
impor yang harganya 16,7% lebih murah dibandingkan beras local (Rp.2.800,- /kg)
dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing pemasaran melalui penurunan harga.
Tidakan ini perlu diteliti dan apabila benar perlu diperbaiki untuk melindungi keberadaan
penggilingan padi local (village rice milles). Pada rantai pemasaran
kedua harga jual gabah petani lebih
tinggi 5,9% dibandingkan dengan rantai pemasaran pertama karena gabah dibeli
dari para petani disekitar pabrik penggilingan (village rice milles)
sehingga tidak perlu mengeluarkan
biaya transportasi
tinggi dan kualitas gabah umumnya lebih baik. Seperti pada rantai pemasaran
pertama, jenis pembiayaan yang dikeluarkan setiap pelaku pasar hampir sama.
Pada rantai pemasaran ini, margin pemasaran terbesar terjadi pada penggilingan
desa sebanyak 7,4 persen sementara pengumpul dan pengecer masing-masing 2,5 dan
1,8 persen (Table 2).
Di
tingkat pengecer, harga beras penggilingan hanya Rp.2.830,-/kg atau 0,7 persen
lebih rendah dibandingkan harga beras kilang. Perbedaan dikarenakan mutu beras
penggilingan umumnya lebih rendah dibandingkan produk kilang, terutama dari aspek
warna kurang putih serta tingginya persentase kandungan bekatul dan beras pecah.
Kualitas beras kilang lebih baik dikarenakan pedagang kilang memiliki fasilitas
pengolahan gabah/beras lebih baik dibandingkan penggilingan desa. Pada tingkat pasar
kabupaten, produk mereka kalah bersaing dengan beras kilang sehingga penggilingan
desa hanya menyalurkan beras ke pengecer local dan pihak-pihak yang telah
mengadakan kontrak pengadaan beras (karyawan). Tabel 2 menginformasikan, bahwa
penggilingan desa memperoleh margin keuntungan paling tinggi yaitu sebanyak
Rp.85,-/kg sedangkan pedagang pengumpul dan pengecer masing-masing hanya mencapai
Rp.48,- dan Rp.28,-/kg.
Table
2. Analisis Margin Pemasaran Gabah/Beras pada Rantai Pemasaran kedua.
Jenis
Kegiatan Satuan (rp/kg) Persentase (%)
Jenis
Kegiatan
|
Satuan
(rp/kg)
|
Persentase
(%)
|
1. Petani/Produsen
|
|
|
a.Harga beli
|
-
|
-
|
b.Margin pemasaran
|
-
|
-
|
c.Harga jual GKP 1)
|
2.500
|
88,3
4)
|
2. Pedagang pengumpul
|
|
|
a.Harga beli
|
2.500
|
88.3
|
b.Margin pemasaran:
|
70
|
2,5
|
-Biaya pemasaran 2)
|
22
|
-
|
-Margin keuntungan
|
48
|
-
|
c.Harga jual
|
2.570
|
90,8
|
3. Penggilingan Desa
|
|
|
a.Harga beli
|
2.570
|
90,.8
|
b.Margin pemasaran
|
210
|
7,4
|
-Biaya pemasaran 3)
|
125
|
-
|
-Margin keuntungan
|
85
|
-
|
c.Harga jual
|
2.780
|
98,2
|
4. Pengecer
|
|
|
a.Harga beli
|
2.780
|
98,2
|
b.Margin pemasaran
|
50
|
1,8
|
-Biaya pemasaran 2)
|
22
|
-
|
-Margin keuntungan
|
28
|
-
|
c.Harga jual
|
2.830
|
100,0
|
Keterangan:
1.
Dikonversi
ke harga beras (53%)
2.
Transportasi, bongkar muat, dll.
3.
Pengeringan, penggilingan, pengemasan,
transportasi, bongkar muat, dll.
4.
Harga
jual di tingkat pelaku/ harga jual di tingkat pengecer x 100%
B.
Karakteristik dan Permasalahan
Pelaku Pasar
Dari
kedua rantai pemasaran, pelaku pasar terdiri dari petani sebagai produsen
gabah, pedagang, penggilingan kilang dan penggilingan desa, grosir, dan pengecer.
Setiap pelaku pasar tersebut mempunyai karakteristik sendiri yang turut menyokong
keberhasilan usahanya atau memecahkan permasalahan yang dihadapi. Mengenai
karakteristik pelaku pasar dan pemasalahan yang dihadapi dapat diuraikan sebagai
berikut:
1.
Petani Produsen Gabah
Dilihat
dari luas penguasaan lahan, rata-rata penguasaan lahan usahatani petani
tergolong sempit, yaitu sekitar 0,25-0,50 ha/petani (Tabel 3). Keadaan ini sesuai
dengan pendapatan Suryana dan Sudi (2001) yang menyatakan, bahwa setidaknya ada
empat ciri utama petani padi Indonesia yaitu;
Rata-rata skala penguasaan lahan
usahatani tergolong sempit sekitar 0,3 ha/petani.
sekitar 70 persen petani (khususnya
buruh tani dan petani berskala kecil) termasuk golongan masyarakat miskin atau
berpendapatan rendah.
Sekitar 60 persen petani adalah net
consumer beras, dan
Rata-rata pendapatan usahatani
memberikan kontribusi sekitar 30 persen dari total pendapatan rumah tangga.
Umumnya
petani sudah menanam varietas padi unggul baru seperti Way Apu Buru, IR-64,
Ciherang, dan Aries namun demikian beberapa petani masih menanam varietas local
“ramos” dengan alasan mempunyai rasa nasi enak dan harga jual tinggi.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sampai musim panen berikutnya,
rata-rata petani menyimpan gabah hasil panen sekitar 5,0-10,0 ku/musim dan
sisanya dijual.
Tabel
2 menginformasikan, bahwa 95 persen petani menjual langsung gabah setelah panen
dalam bentuk gabah kering panen (GKP), dan sisinya (5%) dijual setelah
penyimpanan dalam bentuk gabah kering simpan (GKS). Cara penjualan gabah
langsung setelah panen sulit dihindari karena disamping petani mempunyai
kebutuhan yang mendesak, juga mereka umumnya tidak mempunyai sarana pengeringan
dan penyimanan yang memadai. Hali ini akan menyebabkan harga gabah petani
anjlok turun karena suplai gabah waktu panen meningkat sehingga posisi tawar
petani sangat lemah.
Permasalah
petani adalah keterbatasan modal usaha sehingga mereka terjebak utang pada
pelepas uang (lender). Sesuai dengan pendapat Mears (1978) yang
menyataklan bahwa, petani padi di Indonesia sangat membutuhkan kredit untuk
tujuan produksi, belanja hidup sehari-hari sebelum produk di jual dan pertemuan
- pertemuan sosial. Kepemilikan lahan usaha yang sempit, lapangan pekerjaan
yang terbatas di luar musim tanam, dan pemborosan menyebabkan banyak petani
tidak dapat mengelola hidup dari satu panen ke panen lainnya tampa sumber
pinjaman.
Menunjukan
bahwa hanya sekitar 25-30 persen petani mengeluarkan biaya sendiri untuk
kebutuhan pembiayaan usahatani sedangkan sebagian besar (75 - 70%) petani
melakukan pinjaman baik dari kredit formal maupun Non-formal. Sekitar dua puluh
lima persen petani melakukan pinjaman kredit formal yaitu program Kredit
Ketahanan Pangan (KKP) dan sekitar 45-50 persen jasa kredit Non-formal,
terutama berasal dari pedagang pengumpul dan penggilingan desa. Pinjaman kredit
Nonformal menimbulkan permasalahan petani karena meskipun tingkat bunga
pinjaman hampir sama dengan bunga bank (1-2%/bulan), tetapi dengan melakukan peminjaman
ada tersirat keharusan bagi petani untuk menjual gabah ke pelepas uang. Petani
kurang bebas memilih pembeli yang lebih menguntungkan dan ditemukan kasus dimana dengan berbagai alasan
pelepas uang menekan harga jual gabah petani sekitar Rp.50,- sampai Rp.100,-/kg
GPK lebih rendah dari harga yang berlaku
2.
Pedagang Pengumpul
Pedagang
pengumpul merupakan kaki tangan pedagang kongsi dan menjalankan fungsi untuk
membeli gabah langsung dari sawah petani. Tabel 3 menginformasikan, bahwa
pedagang pengumpul merupakan grup terdiri dari 10 sampai 20 orang dengan
wilayah pembelian beberapa desa yang berdekatan. Bentuk gabah yang dibeli
mayoritas merupakan Gabah Kering Panen (GKP) tetapi di luar masa panen mereka
juga membeli gabah stok dalam bentuk Gabah Kering Simpan (GKS).
Dalam
melaksanakan pembelian, pedagang pengumpul membawa karung dan timbangan selain
itu beberapa pedagang membawa mesin perontok (power thresher) untuk
disewakan. Kegiatan utama pedagang pengumpul melakukan penaksiran harga
gabah, pengarungan, penimbangan, dan pembayaran. Dalam satu musim, mereka mampu
membeli gabah 200-300 ton dimana gabah hasil pembelian langsung dikirim ke di
pedagang kongsi pada hari yang sama.
Tabel 3. Karakteristik
Pedagang Pengumpul
Uraian
|
Keterangan
|
1. Tempat domisili pedagang
|
Desa
|
2. Jumlah anggota
|
10 - 20 orang/group
|
3. Jumlah pedagang pengumpul
|
2 - 3 group/desa
|
4. Sumber modal utama
|
Pedagang kongsi
|
5. Wilayah pembelian dominan
|
Desa-desa dalam kecamatan
|
6. Bentuk pembelian dominan
|
Gabah Kering Panen (GKP)
|
7. Kisaran harga pembelian
|
Rp.1.150,- sampai Rp.1.300,-/kg GKP
|
8. Volume pembelian
|
200 - 300 ton/musim
|
9. Jenis-jenis kegiatan utama
|
Penaksiran
harga, pengarungan, penimbangan,
dan pembayaran
|
10. Cara pembagian keuntungan
|
Dibagi dua dengan kongsi
|
3.
Pedagang Kongsi
Dalam
rantai tataniaga, pedagang kongsi merupakan pihak yang menjual gabah ke
pedagang kilang. Satu pedagang kongsi mempunyai 3-4 group pedagang pengumpul
dengan jangkauan wilayah pembelian meliputi beberapa kecamatan yang berdekatan.
Dalam satu musim, pedagang kongsi dapat pembelian gabah 600-800 ton. Di
pedagang kongsi, gabah dikelompokan berdasarkan bentuk butiran dan varietas.
Dengan tampa perlakuan yang berarti, selanjutnya gabah dikirim langsung ke
pedagang kilang pada hari yang sama (paling lambat tersimpan satu hari) untuk
menghindari penurunan mutu. Untuk membuat atau membina ikatan pembelian dengan
petani, pedagang kongsi memberikan pinjaman modal usahatani (production credits)
atau kebutuhan lain dengan suku bunga rendah (1-2%/bulan), dimana
pelaksanaan di lapangan dikerjakan oleh para pedagang pengumpul.
4.
Pedagang Kilang
Pedagang
kilang umumnya berada di Ibukota Kabupaten dan mempunyai wilayah pembelian
beberapa kecamatan. Perusahaan kilang besar di Sumatra Utara pada umumnya
didominasi oleh warga negara Indonesia keturunan (Cina). Dalam proses pembelian
gabah, pedagang kilang mengklasifikasi mutu gabah ke dalam 4 (empat) golongan
untuk menentukan tingkat harga. Mutu gabah diperiksa hanya berdasarkan hasil
penglihatan dan pegangan tangan terutama mengenai kelompok gabah, kadar air,
kdanungan kotoran, dan gabah hampa.
Tabel 4. Karakteristik
Pedagang Kilang
Uraian
|
Keterangan
|
1. Tempat domisili pedagang
|
Ibu kota Kabupaten
|
2. Sumber modal utama
|
Sendiri dan pinjaman Bank
|
3. Wilayah pembelian
|
Beberapa Kecamatan
|
4. Bentuk pembelian dominan
|
Gabah Kering Panen (GKP)
|
5. Volume pembelian per musim
|
2.000-3.000 ton
|
6. Kisaran harga pembelian gabah :
|
|
Klas
I
|
Rp.1.400,-/kg GKP
|
Klas
II
|
Rp.1.350,-/kg GKP
|
Klas
III
|
Rp.1.300,-/kg GKP
|
Klas
IV
|
Rp1.250,-/kg GKP
|
7. Bentuk penjualan
|
Beras dalam kemasan berlabel
|
8. Wilayah penjualan dominan
|
Beberapa Kabupaten
|
9. Jenis penanganan hasil
|
Pengeringan,
penggilingan, grading,
pengemasan, dan labelling
|
Pedagang
kilang mempunyai fasilitas pengolahan jauh lebih baik dibdaningkan
penggilingan desa,
terutama fasilitas pengeringan dan penggilingan. Alat pengeringan sudah
menggunakan mesin yang memberikan beberapa keuntungan yaitu;
proses pengeringan sangat cepat dengan
kapasitas 15 ton gabh dalam waktu 9 jam,
proses pengeringan tidak tergantung
kepada keadaan cuaca, dan
pengeringan menghasilkan gabah dengan
kadar air 13,5 persen yang akanmenghasilkan kualitas beras lebih baik (angka
rendemen meningkat dan persentaseberas pecah berkurang). Setiap pedagang kilang
melakukan klasifikasi mutu berasmasing-masing, pengemasan (30kg/kemasan), dan
pembuatan merk dagang (labelling).
5.
Grosir dan Pengecer
Pedagang
grosir banyak yang berstatus rangkap yaitu selain pedagang grosir juga
pengecer. Grosir berlokasi di ibu kota Kabupaten atau Kecamatan yang berfungsi
untuk mensuplai beras ke pedagang-pedagang pengecer baik di pasarpasar, warung
maupun toko. Pedagang grosir dapat secara bebas memilih ke kilang mana saja
mereka memesan beras sesuai dengan permintaan konsumen sehingga mereka bisa
menawarkan banyak jenis merk beras ke konsumen. Pengecer dapat menjual beras
baik dalam bentuk kemasan pabrik maupun secara eceran sesuai permintaan
konsumen akhir. Di tingkat grosir dan pengecer pada umumnya tidak ditemukan
permasalahan yang berarti.
6.
Penggilingan Padi Desa
Tujuan
utama penggilingan adalah menyediakan jasa penggilingan untuk petani lokal.
Rata-rata volume gabah yang digiling mencapai 50 ton/musim dengan upah giling 8
persen dari beras yang dihasilkan. Untuk membuat ikatan dengan petani, baik
sebagai pelanggan jasa penggilingan maupun penjualan gabah, pemilik penggilingan
juga memberikan pinjaman modal usahatani (production credits) dan lainya
dengan bunga 1-2%/bulan. Selain itu, pemilik penggilingan mengizinkan petani untuk
mempergunakan pasilitas penjemuran atau penyimpanan gabah dengan tampa harus
menyewa. Permasalahan yang dihadapi oleh penggilingan desa adalah disamping kelemahan
dalam permodalan, juga fasilitas pengolahan gabah/beras yang dimiliki umumnya
jauh lebih rendah dibdaningkan fasilitas yang dimiliki pedagang kilang, terutama
fasilitas pengeringan dan penggilingan.
Dalam
pengeringan, mereka hanya mengandalkan keberadaan sinar matahari sehingga
proses pengeringan membutuhkan waktu cukup lama dan sangat tergantung kepada
cuaca. Karena keterbatasan tersebut, penggilingan desa menghasilkan mutu produk
yang kurang baik, terutama persentase beras pecah dan kandungan
kotoran/komponen lain sehingga kurang disenangi oleh konsumen.
Konsumen
indonesia menyukai beras lebih putih, mengkilap, 13 butiran utuh, sedikit
kuning dan banyak kandungan amilose. Karakteristik produk tersebut selain
kandungan amilose, ditentukan juga oleh proses pascapanen dan proses-proses
lainya yang lebih baik. Selain itu, konsumen beras menyukai produk-produk
kemasan berlabel seperti produk yang dihasilkan oleh pedagang kilang.
A. KESIMPULAN
Kesimpulan :
1. Struktur
aliran tataniaga gabah/beras pada garis besarnya ditemukan dua aliran, yaitu:
(I) saluran pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul
sebagai kaki tangan pedagang kongsi. Dari pedagang pengumpul, gabah disalurkan
oleh pedagang kongsi ke pedagang kilang. Dari pedagang kilang, gabah mulai
mengalami perlakuan meliputi proses pengeringan, penggilingan dan grading beras.
Beras yang telah dikemas disalurkan ke pedagang grosir, dari grosir disalurkan
ke pengecer-pengecer untuk dijual ke konsumen; dan (II) saluran pemasaran kedua,
petani menjual gabah ke pedagang pengumpul yang merupakan kaki tangan pemilik
penggilingan desa. Di penggilingan desa, gabah mengalami proses pengeringan,
penggilingan dan grading beras. Selanjutnya beras dikemas dan disalurkan ke
pengecer desa untuk dijual ke konsumen. Mayoritas petani (85%) menempuh saluran
pemasaran pertama dan sisanya (15%) menempuh saluran pemasaran kedua.
2. Jenis
pengeluaran utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir dan pedagang pengecer
hampir sama meliputi biaya transportasi dan bongkar muat. Pada saluran
pemasaran I besar biaya pemasaran pedagang pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir
(Rp.17,-), dan pedagang pengecer (Rp.22,-) per kilogram beras. Jumlah biaya
pemasaran paling tinggi terjadi pada pedagang kilang, yaitu Rp.127,-per
kilogram beras. Margin pemasaran (marketing margin) paling tinggi
berturut-turutterjadi pada pedagang kilang sebanyak 7,6%, pedagang
pengumpul/kongsi 6,7%, sedangkan pedagang grosir dan pengecer masing-masing 1,2
dan 1,8%. Margin keuntungan (net benefit margin) di kilang mencapai
Rp.89,-/kg. Pada saluranpemasaran II, margin pemasaran terbesar terjadi pada
penggilingan desa sebanyak 7,4 persen sementara pedagang pengumpul dan pengecer
masing-masing 2,5 dan 1,8 persen.